2 September 2010

Selayang Pandang ^_^

Jadikan cintaku padaMu ya Allah
Berhenti di titik ketaatan
Meloncati rasa suka dan tak suka
Karena aku tahu, mentaatimu dalam hal yang tak kusukai
Adalah kapayahan, perjuangan dan gelimang pahala
Karena seringkali ketidaksukaanku,
Hanyalah bagian dari ketidaktahuanku
(Salim A. Fillah)
 
Pernahkah seorang lelaki (Ikhwan) datang kerumahmu dengan niat yang tulus untuk menikah. Mencoba mengumpulkan keberanian agar bisa bersanding dengan seseorang yang sholihah. Dia membawa sejumput harapan agar proses yang akan dia tawarkan bisa dihargai dan akan sangat membuatnya bahagia jika proses ini diterima dengan senang hati.
Mungkin tidak ada yang pernah tahu, betapa debarnya perasaan yang sedang dia rasakan karena bermacam asumsi menari dipikirannya. Apakah saya ditolak? Ataukah diterima?
Lelaki itu akan mengucapkan “Alhamdulillah…” jika diterima dan akan mengucapkan “Allah Akbar..” jika ditolak.
Ya… dialah lelaki sholih, yang mencoba menggenapkan separuh agamanya hanya diniatkan karena Allah dan sebagai sarana untuk menajaga diri dari godaan nafsu dunia.
Lantas…
Bagaimana jika ikhwan yang datang dihadapanmu adalah seorang lelaki yang tak pernah diimpikan sama sekali olehmu.
Dia hanya seorang ikhwan yang wajahnya (maaf) jelek terkesan sangar, pendek, bungkuk, hitam dan fakir. Pakaiannya lusuh, bahkan kakinya pecah-pecah.
Tapi…
jika dia seorang yang sholeh, memiliki kepribadian yang memukau, santun, punya tanggung jawab, serta selalu berusaha membela agamaNya. Masihkah terbetik rasa ragu? Sedangkan Allah dan rasul mengajarkan kepada kita untuk menjadi seorang mu’min yang punya kepribadian Al-Qur’an.
Mari kita saksikan kisah seorang Julaibib ketika dia hendak melamar seorang Wanita sholeh.

Julaibib… dialah gambaran sosok pemuda paling terpinggirkan dizaman rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya, dia juga tidak memiliki nasab yang jelas sehingga membuatnya tersisih dikasta sosial paling rendah.  Bahkan Abu Barzah seorang pemimpin Bani Aslam mengatakan
“Jangan biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya”
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya dan menganugerahkan hidayahNya, siapakah yang bisa menghalanginya?
Julaibib kemudian selalau berada dibarisan paling depan ketika berperang bersama Rasulullah, meski sebagian besar memperlakukannya seolah dia tiada, tidak pernah dianggap sama sekali.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam, Sang Rahmat bagi semesta alam. Suatu waktu Julaibib ditegur oleh Rasulullah, begitu lembut beliau memanggil
“Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya ya Rasulullah”, kata Julaibib, “yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”
Julaibib menjawab dengan tersenyum tanpa ada kesan merutuki takdir yang telah dia miliki.
Rasulullah tersenyum dan menanyakannya hingga tiga kali, tiga hari berturut-turut.
“Julaibib, tidakkah engkau menikah?”
Di hari ketiga itulang, Sang nabi mengamit lengan Julaibib dan membawanya kesalah satu rumah pemimpin Anshar.
“Aku ingin menikahkan puteri Kalian” kata Rasulullah.
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya” begitu jawab si wali. Dengan raut muka berseri-seri serta bahagai yang tak terkira karena mengira Rasulullah yang akan melamar salah satu puterinya.
“tetapi bukan untukku, kupinang puteri mu untuk Julaibib” kata Rasulullah.
“Julaibib?” nyaris tak percaya ayah sang gadis
“Ya, untuk Julaibib” tegas Rasululllah
“ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas yang berat “Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini”
“Dengan Julaibib?”, isterinya berseru “Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah Lecak, tak bernasab, tak berkabillah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib”
“Siapa yang meminta” tiba-tiba sang puteri menengahi perdebatan orang tuanya.
Sang ibu dan ayah lalu menjelaskan
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan Demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis sholihah lalu membaca ayat ini:
Dan tidak patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata (Q.s. Al Ahzaab (33) : 36)
Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah
“Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah”
Doa yang begitu Indah.
……………………………………………………………………………………………………………………..
Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat padanya.
Saat syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya diakhir pertempuran. “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya Rasulullah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak Ya Rasulullah!”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para sahabat tersadar.
“Carilah Julaibib!”
Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputarannya menjelempan tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau saw menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat hari berbangkit.“Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Tidak ada komentar: